brebesnews24.com
BREBES | – Tahun ajaran baru seharusnya menjadi awal harapan bagi ribuan siswa dan orang tua di Kabupaten Brebes.
Namun bagi sebagian keluarga, bel sekolah justru menjadi isyarat derita baru yang datang berkedok “bahan seragam”.
Di tengah gegap gempita penerimaan siswa baru, terselip suara-suara lirih para orang tua yang dihimpit oleh beban tak tertulis, ” membeli bahan seragam sekolah dari jalur yang ‘disarankan’ bukan karena kualitas, tapi karena sistem yang diam-diam membentuk jerat.
Meski tidak tercantum dalam peraturan resmi sekolah, tekanan moral terhadap orang tua untuk membeli bahan seragam dari jalur tertentu yakni koperasi atau pihak yang “direstui” sekolah mengarah pada bentuk pemaksaan terselubung.
Total biaya bisa menyentuh angka Rp1,2 juta atau lebih, jumlah yang tidak masuk akal bagi keluarga dengan penghasilan harian seperti buruh, pedagang kelililing, dan petani kecil ataupun masyarakat berpenghasilan rendah lainya.
Pak H seorang buruh bangunan lepas di Brebes kota, harus memutar otak dan tenaga untuk membayar biaya bahan seragam beserta atribut untuk anaknya yang masuk SMP Negeri.
Tak tanggung-tanggung, harga satu paket bahan seragam (bahan seragam OSIS Biru, pramuka, batik dan olahraga) mencapai Rp1,2 juta, ditambah ongkos jahit hingga Rp450 ribu untuk tiga stel.
Semua ini demi memenuhi arahan pihak sekolah, apalagi Pak H takut jika membeli di luar sekolah akan membuat anaknya “bermasalah dalam pendataan”.
“Katanya nanti enggak dicatat, beda kelas sendiri. Saya takut anak jadi malu. Tapi kenapa harus semahal itu, padahal saya tahu harga pasaran jauh lebih murah?
“Padahal saya sudah beli seragam OSIS biru putih di toko seragam di sini, harganya Rp150 ribuan satu stel sudah jadi.
Tapi tetap diarahkan harus dari pihak sekolah. Katanya biar seragam biar enggak beda. Tapi apa harus semahal itu?” keluh pak H, Rabu (30/7/2025).
Keresahan seperti ini tak hanya dirasakan Pak H. Beberapa orang tua lain dari sekolah berbeda juga menyuarakan kekhawatiran yang sama.
Meski tidak ada aturan tertulis yang mewajibkan pembelian lewat sekolah, tekanan moral dan sosial membuat mereka merasa tidak punya pilihan lain.
Bahkan, disebut-sebut “diduga” ada rekanan dari luar kota yang menjadi pemasok utama bahan seragam tersebut.
Kisah serupa dialami Pak S, pedagang bakso keliling. Setiap hari ia keliling dari kampung ke kampung, berharap dagangannya laku untuk sekadar mencukupi makan anak-istri.
Namun, tahun ini ia terpaksa menyisihkan pendapatan harian demi seragam anaknya yang “Katanya” Harus Seragam.
“Anak saya bangga bisa masuk Sekolah Negeri, tapi saya malah bingung. Harga seragamnya bisa buat modal saya seminggu jualan. Tapi kalau enggak ikut beli, takutnya anak saya bisa diperlakukan beda. Ini sekolah atau koperasi? Tapi sudah terlanjur saya bayar. Tapi tidak diberikan kwitansi oleh pihak sekolah, katanya nanti mau dikasih, saat itu hanya mengisi lembar kertas pesanan saja,” ucapnya dengan dengan suara lirih bergetar.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah sikap pasif pihak sekolah. Meski Dinas Pendidikan setempat menyatakan tidak ada kewajiban membeli dari koperasi atau rekanan, kenyataannya para guru dan wali kelas kerap menjadi penyambung lidah sistem yang diam-diam seolah tak memberi pilihan.
Menanggapi keresahan itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dindikpora) Kabupaten Brebes, Caridah, saat dikonfirmasi awak media menyebut bahwa “sekolah memang ada menyediakan seragam melalui koperasi, tapi tidak wajib.” Ia bahkan mengaku tidak mengetahui adanya rekanan penyedia dari luar.
“Seragam diserahkan sepenuhnya ke masyarakat. Namun ada sekolah yang menyiapkan di koperasi sekolah atau pihak lain, monggo jika masyarakat mau pesan. Dalam aturan juga tidak ada pemaksaan pembelian seragam di sekolah, jadi itu sekali lagi tergantung kebutuhan wali murid,” kata Caridah.
Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Harga yang ditawarkan tidak masuk akal, bahkan untuk bahan yang kualitasnya hampir sama dan tak jauh beda dengan yang dijual di pasar umum dengan harga jauh lebih rendah.
Diketahui, dari 121 SMP di Brebes 72 negeri dan 49 swasta jika rata-rata siswa baru berjumlah 200 hingga 400 siswa baru, potensi “pasar tertawan” ini sangat besar.
Dengan asumsi minimal pembelian Rp 1,2 juta per siswa, perputaran uang dari seragam saja bisa menyentuh miliaran rupiah. Siapa yang menikmati?
“Kalau koperasi memang punya sekolah, kenapa harganya justru seperti dimonopoli? Ini bukan koperasi, ini kapitalisme berseragam,” keluh seorang wali murid yang enggan disebut namanya.
Yang lebih menyedihkan, semua ini dilakukan di bawah bendera naungan pendidikan.
Institusi yang seharusnya mengedepankan nilai keadilan dan kemanusiaan, justru membiarkan sistem yang mengorbankan mereka yang paling rentan dan lemah.
Sekolah Tahu, Guru Tahu, Tapi Semua Memilih Diam
Seolah-olah, demi seragam yang seragam, rela membiarkan anak-anak dari keluarga miskin merasa tak pantas duduk di kelas yang sama.
Demi keseragaman yang semu, pendidikan yang seharusnya membebaskan, kini jadi alat menindas dalam senyap.
“Kami ingin anak kami sekolah, bukan ikut lelang seragam sekolah,” kata Pak H.
Pendidikan seharusnya tidak menjadi beban. Namun hari ini, seragam sekolah telah menjadikan simbol ketimpangan, karena mahal, memberatkan, dengan sistem yang membiarkan ketidakadilan berulang tahun demi tahun.
Bagi orang tua seperti Pak H, yang hidup dari penghasilan harian dan tidak memiliki jaminan kerja tetap, biaya seragam jutaan rupiah terasa seperti momok menakutkan.
Ia berharap ada perubahan kebijakan yang memberikan pilihan bebas kepada orang tua untuk membeli seragam sesuai kemampuan, tanpa tekanan.
“Biar kami bisa tetap kasih yang terbaik buat anak, tanpa harus berhutang duluan hanya untuk beli bahan baju seragam,” kata dia.
Tuntutan Perubahan dan Peran Penegak Hukum
Para orang tua murid pun berharap ada langkah nyata dari pemerintah daerah, Ombudsman, hingga aparat penegak hukum untuk menelusuri alur bisnis bahan seragam sekolah yang selama ini seolah didiamkan.
Bahkan, audit terhadap koperasi sekolah dan pihak-pihak yang disebut sebagai “rekanan” harus dilakukan transparan.
Jika tidak ada tindakan tegas, praktik ini akan terus menjadi ladang rente tahunan yang membebani orang tua murid, sekaligus mencederai prinsip pendidikan yang semestinya inklusif dan tanpa diskriminasi ekonomi.
Kami bukan menolak seragam. Kami hanya ingin punya hak untuk membeli yang sesuai kemampuan. Sekolah jangan jadi pasar yang tak berpintu hukum,” keluh seorang wali murid. (BN24)